Pemilu 2024 Disebut Paling Buruk dalam Sejarah Demokrasi di Indonesia
Sejarah Demokrasi Pemilu 2024, Guru besar hukum pidana Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Romli Atmasasmita menilai Pemilu 2024 merupakan pesta demokrasi paling buruk dan banyak diwarnai dengan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Ia mengaku, sudah mengikuti Pemilu sebanyak tujuh kali, dan pesta demokrasi kali ini yang paling hancur.
Sirekap dan Kejahatan Pemilu 2024
Romli menekankan, pentingnya untuk memperkuat Undang-Undang Pemilu. Ia menegaskan, Undang-Undang tersebut harus memuat soal sanksi yang tegas hingga pemecatan.
“Harus ada karena ini cuma peringatan sanksi administratif. Bayangkan pelanggaran terhadap hak rakyat berdaulat hanya dengan administratif. Membunuh orang satu saja mati, ini membunuh demokrasi 270 juta jiwa di bunuh, di korupsilah, ini korupsi suara dan sistematis, terstruktur, dan masif. Nah kalau dilihat dari sudut itu, ini pengkhianatan terhadap konstitusi. Itu kena Undang-undang makar. Dia membuat persengkongkolan untuk meruntuhkan maruah negara,” tegas Romli.
Romli menganggap pemilu tidak bisa di anggap sebagai momen untuk bermain-main. Karena itu, Undang-Undang yang mengaturnya harus dengan kesadaran semata-mata menjaga kedaulatan rakyat.
“Selama ini kedaulatan rakyat tidak pernah sebebas-bebasnya sebagaimana pemilu, orang nyoblos tidak ada yang mempengaruhi itu di jamin itu, ketika membaca norma-norma yang ada ini tidak serius, satu sisi di larang presiden berkampanye tetapi di bawahnya di bilang boleh asal ini, asal itu,”
Selain itu, lanjut dia, Sirekap pun pelaksanaannya bukan lagi bisa di sebut pelanggaran, melainkan sudah tahap kejahatan. Dia menganalogikan Sirekap seperti sudah membunuh, mencuri, yang dari awal di persiapkan untuk itu.
“Ini sistemnya yang terburu-buru, demokrasi kita belum siap, kenapa belum siap? 60 persen penduduk kita masih jauh dari standar pendidikan yang modern,” tegas dia.
Pemilu 2024 Di sebut Paling Buruk dalam Sejarah Demokrasi di Indonesia
Dalam kesempatan yang sama, Koordinator TPDI Petrus Salestinus menyatakan bahwa KPU menutup diri dari kritik publik dan tidak mengklarifikasi berbagai kecurigaan, sehingga kecurigaan publik itu. Bahkan, per hari ini sudah mengarah kepada suatu keyakinan bahwa Sirekap bisa jadi merupakan alat pembunuh demokrasi.
“Sebagian besar publik mulai tidak percaya terhadap Sirekap produk ITB ini. Bahkan akhir-akhir ini KPU sendiri mulai kehilangan kepercayaan terhadap Sirekap ini, dengan seringnya Sirekap ini mati atau di matikan atau tidak di gunakan,” ucap Petrus.
Menurut Petrus, ketidakpercayaan publik terhadap Sirekap telah terjadi. Terlebih, KPU dan pimpinan ITB tidak transparan sejak proses pengadaan Sirekap hingga bagaimana proses bekerjanya Sirekap.
Terlebih, server Sirekap bisa berada di Singapura, Tiongkok dan Prancis serta kerja sama antara KPU dengan Alibaba Cloud yang merupakan pihak asing.
“Sikap tertutup Rektor ITB dan KPU di perparah lagi dengan sikap Bareskrim Polri yang dua kali menolak laporan polisi TPDI dan Perekat Nusantara, hal ikhwal dugaan korupsi dalam pengadaan Sirekap dan penyebaran berita bohong perolehan suara Pemilu lewat Sirekap yang secara UU ITE masuk yurisdiksi Bareskrim Polri bukan Bawaslu alias Gakumdu,” pungkasnya.
Baca juga: Sejarah Kerajaan Kutai